Bulan baru, waktunya merefresh pikiran dengan artikel Prof. Rhenald Kasali yang menginspirasi! (sumber: www.kompas.com)
Selesai menelisik calon komisioner KPK minggu
lalu, saya dijemput seorang teman menuju sebuah kampung, dekat kawasan
industri yang jaraknya sekitar 80 kilometer dari kota Semarang. Di
bagian belakang sebuah rumah yang hampir rubuh dan kusam saya
menyaksikan tumpukan besi, alat las, tabung besar elpiji dan beberapa
tong berisi air.
Di sana saya diterima seorang “montir” genius
yang berhasil membuat pembakaran super hemat energi. Lulusan sebuah
akademi dari Jepang ini menunjukkan kepada saya teknologi yang terlihat
sederhana, hasil eksperimen tiada henti selama 8 tahun. Menurut rekan
saya dari Jepang, teknologi ini original, dan hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan.
Atas rekomendasi seseorang, ia diminta
bertemu dengan saya. Karena tak mengerti teknologi, saya menghubungi
teman-teman dari fakultas teknik, sejumlah fisikawan, dan ahli kimia.
Seperti biasa, ilmuwan selalu menyangsikan temuan montir lapangan.
Padahal energi ini merupakan proses fisika-kimia yang unik, yang bisa
mengubah dunia.
“Secara fisika, itu mungkin, tetapi energi untuk membuat energi itu secara teoritik lebih besar," ujar mereka.
Karena
penasaran, saya merekam semua prosesnya. Saya lalu mengundang beberapa
orang pegusaha. Respon yang berbeda saya dapatkan. Walau ada
keragu-raguan, para insinyur pengusaha itu takjub dan mau memberi
kesempatan. Sang penemu yang tadinya loyo, kini seperti dapat suntikan
energi baru. Dahlan Iskan yang saya tunjukkan temuannya malah memberi
dorongan. Beberapa perusahaan asing ingin menjajaki kerjasama.
“Biasanya,
ilmuwan selalu tidak percaya terhadap hal-hal seperti ini. Tetapi
biarlah mereka mencoba, biasanya banyak kejutan,” ujar Menteri BUMN ini.
Proyek pengembangan energi baru ini kita mulai secara kecil- kecilan. Kami mempersiapkan segala urusan yang melengkapinya.
Sewaktu
saya tanya apa yang membuat ia mempercayakan temuan itu kepada saya,
mereka cuma menjawab singkat: Kami ingin ikut membangun negeri namun
butuh pemeriksaan scientific-nya. “Iya, tapi mengapa harus ke saya?” Sambil tersenyum mereka hanya berujar singkat, “Ini sebuah amanah."
Kampung dan Kampus
Apa
yang diamanahkan "montir" kampung itu mungkin tidak keren bagi
kebanyakan ilmuwan kampus. Tapi, seperti kata mendiang Deng Xiaoping,
bagi saya tidak penting, mau dia berwarna hitam atau putih, selama dia
bisa menangkap tikus itulah kucing yang kita cari.
Saya jadi
ingat kedatangan seorang ibu rumah tangga yang gemar mengolah herbal
dari bahan alami ke Rumah Perubahan. Dengan semangat ia menunjukkan
produk barunya yang mampu meluruhkan kolesterol, dan satunya lagi
menurunkan gula darah.
Sebagai wirausaha sosial yang gigih,
bersama suaminya yang dulu bekerja di Astra, mereka telah menolong
banyak orang. Tetapi secara scientific jelas masih jauh. Mereka
hanya tahu bagaimana mendapatkan ijin dari Badan POM, mengurus berbagai
sertifikat, dan membuat kemasan yang bagus. Mereka lalu dibantu oleh
ilmuwan-ilmuwan LIPI dan sejumlah dokter muda yang memberi masukan
pribadi secara gratis.
Boleh dibilang produknya memberi banyak
harapan pada yang mulai putus asa dalam berobat. Orang tua saya termasuk
orang yang mengakui manfaatnya.
Lantas bagaimana sikap kampus?
Sikap
sebagian dari mereka, maaf, justru berkebalikan. Bukannya pujian atau
kegairahan membawa temuan itu ke dalam studi laboratorium, mereka malah
memberikan sinisme. Alih-alih mempersoalkan kebenaran ilmiah, mereka
justru menggunakan ayat-ayat agama untuk mendebat proses fermentasi yang
terkandung dari produk itu.
Lalu ketika si ibu tadi, dengan
bantuan teman-teman dokternya berhasil memasukkan kajiannya pada sebuah
jurnal ilmiah, mereka kembali menyerang. “Itu jurnal abal-abal,”
katanya.
Sayangnya, tak banyak ilmuwan kampus yang mengerti
bahwa bagi seorang pengusaha kecil, melakukan kajian ilmiah amat
meletihkan dan mahal. Seorang teman yang berhasil membuat air embun
misalnya, mengeluarkan Rp 1 miliar - Rp 3 miliar untuk membiayai
eksperimen kampus dengan melibatkan 90 orang responden (pasien) dari
sebuah rumah sakit.
Bagi kampus, eksperimen seperti itu di era
saat ini telah lebih banyak dilihat sebagai proyek yang bisa menambah
penghasilan. Tetapi bagi pengusaha kecil, bila kajiannya positif dan
dipublikasi secara ilmiah, dapat menjadi jembatan emas menuju masa
depan.
Setelah itu, masih banyak perjuangan yang harus mereka
tempuh untuk “menaklukkan pasar”. Maklum, para distributor dan retailer
lebih senang menjual barang-barang yang sudah dikenal, yang turn over-nya tinggi, dan memberikan mereka insentif yang memadai.
Sementara itu, objektif para peneliti bukanlah mengembangkan teknologi, melainkan publikasi ilmiah.
Tacit dan Eksplisit
Di sini ada masalah, antara tacit knowledge (yang didapat dari latihan dan praktik) dengan explicit knowledge
(yang bisa dicatat, dibukukan). Maka, kini ada dua bandul yang saling
berhadap-hadapan. Satu bandul dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan kampung
melalui ketrampilan tacit-nya, yang menjadi teknopreneur, namun
berhenti begitu produk ditemukan dan dikomersialkan secara terbatas.
Dan satunya lagi oleh ilmuwan-ilmuwan kampus yang juga berhenti pada
publikasi ilmiah sebelum menjadi teknologi.
Ini tentu berbeda
dengan kondisi di negara-negara industri dimana kampus telah menjadi
jembatan kokoh dalam mendukung kemajuan industri dan ilmu pengetahuan
itu sendiri. Orientasi kampus kelas dunia itu bukan sekedar publikasi,
melainkan impak. Bukan paper, melainkan paten, lisensi,
teknopreneurship, dan kegiatan usaha.
Di kampus-kampus ternama di dunia, Anda akan menemukan Campus Technology Transfer Office, unit penggerak utama student entrepreneurship
yang didorong oleh negara dan kampus agar menjadi alat bagi tumbuhnya
proses transfer teknologi dan pembangunan ekonomi. Unit ini juga menjadi
alat penting untuk membawa hasil riset ke pasar.
Tak usah jauh-
jauh, di Thailand saja kita mudah mendapatkan kampus serupa yang
mentransfer temuan-temuan baru dalam bidang pertanian. Bahkan pada
tataran tertentu kita juga temukan di IPB.
Mereka bukan cuma
sibuk meneliti, melainkan mengkaji temuan dari dunia tacit ke dalam
dunia explisit, lalu bersama-sama mengurus patentability dan
marketability-nya. Di University of Missouri Colombia saja, 33,3 persen
dari pendapatan universitasnya berasal dari uang transfer karya-karya
cipta teknologinya.
Lantas bagaimana perguruan tinggi Indonesia
mau maju kalau mahasiswanya tidak dijadikan teknopreneur? Adalah biasa
kita saksikan mahasiswa yang belajar ilmu kimia atau teknik, justru
menjadi wirausahawan kuliner jajanan pasar yang bertarung melawan
ekonomi rakyat di kaki lima. Sementara teknologi yang seharusnya bisa
kita buat sendiri terus menerus didatangkan dari luar negri.
Bagaimana menjembatani ilmuwan-ilmuwan tacit
yang tangannya gatal dan hanya berhenti di produk akhir dengan
ilmuwan-ilmuwan kampus yang hanya berhenti di publikasi ilmiah saja?
Keduanya juga saling berjauhan, bahkan tidak berkomunikasi. Ini jelas
pekerjaan rumah bagi para pemimpin kampus, peneliti, dan tentu bagi
menteri pendidikan tinggi dan riset yang bulan depan sudah harus mulai
bekerja. Kita perlu merombak cara berpikir, membuat platform
kewirausahaan baru bagi kaum muda, dan melakukan terobosan.