Pada dasarnya manusia adalah makhluk kreatif.
Manusia membuat bentuk
dari materi atau bahan di mana mereka mewujudkan jati diri mereka ke
dalam apa yang mereka buat.
Dalam masyarakat prakapitalis, manusia
menjadi utuh ketika mereka menciptakan barang untuk mereka pakai sendiri
atau mereka pertukarkan secara adil
(Marx, Karl; Economis and Philosophical Manuscript, 1844)
Revolusi industri yang pada awalnya berkembang di Inggris dan menjalar dengan cepat di seluruh Eropa dan seluruh dunia pada akhirnya, telah banyak merubah struktur ekonomi masyarakat. Pada awalnya manusia menciptakan produk untuk sekedar memenuhi kebutuhan atau barter dengan produk lain, menjadi sebuah struktur organisasi yang menciptakan produk massal dengan tujuan mengumpulkan modal (kapital) sebesar-besarnya. Di tengah-tengah kepungan keinginan menumpuk modal tersebut, akhir-akhir ini di Indonesia bermunculan pengusaha yang menekuni bisnis artisan. Apa itu bisnis artisan? Berikut adalah dua artikel yang menginspirasi dari wanitawirausaha.femina.co.id:
Berasal dari bahasa Prancis, artisan berarti seorang pekerja yang sangat
ahli di bidangnya dan membuat satu produk dengan tangan. Meski sedang
menjadi tren, pebisnis tidak bisa dengan mudah mencantumkan kata
‘artisan’ dalam bisnisnya. Kata ini rupanya memiliki arti yang jauh
lebih bermakna dari sekadar ‘handmade’.
Ayu Larasati: Ayu Larasati Ceramics
Ayu
membangun Ayu Larasati Ceramics karena ketertarikannya pada unsur
keramik saat kuliah di jurusan Industrial Design di Toronto, Kanada.
“Saat itu saya harus membuat mangkuk,” ujarnya. Sejak itu ia semakin
mendalami bisnis artisan dengan menciptakan beragam produk keramik.
Bagi
Ayu, bisnis artisan memiliki arti yang berbeda-beda. “Artisanal craft
dengan artisanal food misalnya, memiliki arti yang tidak sama,”
jelasnya. “Saya meyakini artisanal craft adalah barang yang memiliki
kualitas bagus, dibuat dengan tangan, dan tidak melewati proses
pembuatan seperti di pabrik konvensional yang tiap hari mengirim banyak
containers produk.”
Sempat bekerja sebagai product designer di
satu perusahaan di Toronto, Kanada, selama tiga tahun, Ayu selanjutnya
semakin mendalami teknik pembuatan keramik dengan mengikuti pelatihan
kelas malam. “Dari sini saya menyadari bahwa untuk bisa menguasai
pembuatan keramik yang bagus, kita harus membuatnya dengan tangan
sendiri.”
Tahun 2013, ia kembali ke Indonesia dan mulai
membangun studio sendiri, menyusul suami yang telah lebih dulu
mengembangkan bisnis di Tanah Air. “Kebetulan indie artist seperti saya
di Jakarta jumlahnya tidak banyak dan dianggap sebagai satu hal yang
baru, walaupun sebenarnya tidak,” katanya.
Ayu mengaku produk
keramik yang dibuatnya tak jauh berbeda dengan benda-benda keramik yang
umumnya dipakai sehari-hari. “Hanya, pembuatan benda tersebut lebih
thoughtful,” tuturnya. “Untuk menciptakan suatu produk, saya memasukkan
sebagian dari diri saya pada benda yang saya buat.”Menurut Ayu,
tiap craftsman pun memiliki ‘suara’ atau karakter sendiri. “Saat ini
contohnya saya sedang melatih seorang craftsman untuk membantu saya
membuat keramik. Saya mentransfer ilmu dengan pendekatan personal,”
katanya. Sekalipun ia nanti bisa menguasai teknik yang diajarkan,
menurut Ayu, tentu hasil karya setiap craftsman akan memiliki karakter
dan suara sendiri.
Sejauh ini, selain memasarkan produk secara
online, Ayu juga mengisi stok di The Good Things In Life dan Dia.Lo.Gue
di Jakarta, plus Buro di Bali. “Saya mengerjakan pula banyak custom
products, seperti pesanan piring untuk beberapa coffee shop,” jelasnya.
Ayu mengaku sangat selektif dalam memilih klien. “Kebanyakan klien di
Indonesia suka mendikte perajin dan kami diharapkan mengerjakan sesuai
keinginan klien tanpa bisa memberi saran.”
Namun itu bagi Ayu bukan menjadi penghalang melainkan tantangan.
“Jujur
saja, bisnis seperti ini sulit untuk besar, but I like to keep it
small. Arti sukses kan berbeda untuk tiap orang,” katanya. “Saya
tidak menilai kesuksesan semata-mata dari segi uang. Seberapa banyak
pesanan yang saya ambil tergantung dari kemampuan saya mengerjakannya
dengan perasaan senang karena saya juga harus menyeimbangkan pekerjaan
dengan kehidupan pribadi. Being burn out is the last thing I want to do.
Selama saya bisa menggaji staf dan makan dari keuntungan bisnis, bagi
saya sudah cukup.”
Talita Setyadi: BEAU
Wanita ini semakin jatuh cinta ke bisnis pastry dan
cuisine setelah mengambil sekolah khusus di Paris dan memenangkan lomba
di kota tersebut. “Saya berani menamakan makanan saya artisan karena
saya bertanggung jawab sepenuhnya atas bahan-bahan yang ada di dalam
tiap makanan yang saya jual,” tegas Talita Setyadi, pemilik merek Roti dan pastry BEAU.
“Saat kembali ke Indonesia, saya merasa prihatin
dengan kualitas roti dan pastry yang dijual di berbagai bakery.,” kenang
Talita. Menurutnya, banyak roti dan pastry di Indonesia memakai
pengawet dan pewarna yang berbahaya. “Saya ngeri melihat Rainbow Cake
ada di mana-mana, padahal setahu saya untuk menghasilkan pewarna biru
harus memakai campuran minyak tanah.”
Sayangnya, kata Talita,
BPPOM di sini tidak ketat, sementara konsumen tidak tahu bahwa zat-zat
kimiawi dalam makanan bisa menyebabkan ADHD (attention deficit
hyperactivity disorder) pada anak-anak.
Talita sudah tinggal di
luar negri sejak usia 9 tahun, wajar jika mengenal betul standar bakery
di luar negeri, bahwa semua roti yang dijual hanya bisa bertahan satu
hari. “Saya mencoba menerapkan standar tersebut di Jakarta. Saya memulai
dengan menggoreng donat sendiri, lalu menjualnya di Common Grounds
dengan nama Bombos,” ujarnya. Melalui promosi di media sosial, produk
yang ia jual banyak dilirik pembeli.
April 2015, Talita membuka
gerai bakery pertamanya di Plaza Indonesia dengan label BEAU. Selang 3
bulan kemudian ia membuka gerai kedua di Grand Indonesia. “Untuk ini,
saya harus berinvestasi cukup besar membuat dapur di kawasan Radio
Dalam,” katanya.
Tidak seperti kebanyakan bakery yang membeli bahan
dasar roti dalam bentuk beku baru dipanggang sendiri, semua roti dan
pastry yang dimasak Talita terbuat dari bahan-bahan mentah. Ini
merupakan cara ia mengontrol semua bahan yang digunakan dalam setiap
makanan yang ia jual.
Talita mengkalim jika semua produk
BEAU sama sekali tidak menggunakan zat pewarna atau pengawet. “Setahu
saya, BEAU merupakan satu-satunya bakery di Indonesia saat ini yang
tidak memakai zat pengembang,” tutur Talita. Semua roti dan pastry
dimasak dan dijual pada hari yang sama. “Karena itu, konsumen saya
kebanyakan adalah mereka yang pernah tinggal di luar negeri dan
cosmopolitan couple yang menyadari pentingnya hidup sehat.”
Tiap
pagi ia mensuplai ke kedua gerai tersebut dan beberapa kafe langganan,
seperti Common Grounds dan The Goods Dept dari dapur. "Semua sisa
makanan pada hari itu yang tidak laku kami sumbangkan ke panti asuhan,"
jelas talita. "Tiap malam ada Go-jek yang menjemput sisa makanan dan
mengantarkannya ke salah satu dari delapan panti asuhan yang bekerja
sama dengan saya."
Tak harus dengan tangan
Banyak
yang salah kaprah menganggap bahwa produk artisan harus dibuat dengan
tangan, padahal, menurut Talita, dalam membuat roti tidak mungkin jika
tidak menggunakan mixer. “Saya sangat memperhatikan semua produk saya
sampai ke sisi ramah lingkungan,” ujar Talita. “Saya tidak memakai
margarin karena mengandung palm oil yang penanamannya bisa merusak
lingkungan.”
BEAU terus berinovasi menggunakan bahan-bahan lokal.
seperti kelapa, asam jawa, ubi ungu, dan jeruk limau yang jarang
ditemukan di bakery lain. Ada pula pastry rasa daun pandan, wijen, dan
gula jawa yang tidak hanya menghasilkan warna yang cantik, tapi juga
rasa yang lebih gurih.
“Saya justru berharap makin banyak
bakery lokal yang menerapkan standar seperti kami,” tutur Talita. “Kita
harus mau meningkatkan standar seperti di luar negeri. Karena bila tidak
demikian, Indonesia akan sulit maju.”
Meeta Fauzan : Label Busana Muslim
Awalnya Meeta hanya mengisi waktu luang saat cuti kuliah karena
melahirkan, ketika dia memulai bisnis fashion rumahan. Dia memulainya
dengan menerima jahitan dari rekan dan keluarganya. “Usaha jahitan ini
kemudian berkembang menjadi butik dengan pakaian yang saya ambil dari
Hong Kong,” ungkapnya.
Usaha ini bertahan lama, apalagi Meta
juga mendalami fashion design, sehingga pesanan bajunya pun mulai
bertambah. Beberapa pelanggannya beranggapan bahwa menjahitkan pakaian
di tempat Meeta akan mendapatkan hasil yang terbaik. Begitu pula dengan
pakaian yang dijual di butiknya, selalu eksklusif dan tidak dapat
ditemukan di butik kebanyakan.
Perubahan
itu terjadi ketika Meeta pulang dari ibadah haji, pada tahun 2003. Saat
itu ada panggilan kuat dalam dirinya untuk memulai usaha busana muslim.
“Saya mulai melihat-lihat model busana muslim yang ada dan meminta
penjahit saya untuk membuatnya,” jelas Meeta, tentang sejarah lahirnya
label busana muslim Meeta Fauzan.
Lambat laun, butik yang tadinya
menjual beragam busana kini hanya menjual busana muslim dan
perlengkapannya. Sejalan dengan berubahnya arah bisnis, Meeta pun
kembali mempelajari lebih dalam tentang busana muslim agar ia bisa lebih
mengerti selera pasar dan membuat busana muslim melebihi ekspektasi
masyarakat.
Meski di awal memulai bisnis Meeta masih
mencari-cari jati diri, tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan
pijakan yang tepat, “Saya memilih membidik pangsa pasar wanita
dewasa, sehingga busana muslim yang saya buat cocok untuk dipakai
bekerja atau ke pesta,” jelasnya.
Kiprah butik Meeta Fauzan
dari Bandung rupanya terdeteksi oleh pencinta fashion, apalagi di tengah
perkembangan bisnis modest wear yang kian menggeliat. Meeta kemudian
diajak untuk mengikuti beberapa fashion show, baik di dalam maupun di
luar negeri. Salah satu prestasi yang pernah dicapainya adalah mengikuti
tim INA Goes to Europe, sebuah pameran produk Indonesia di negara
Austria, Praha, dan Budapest.
Keikutsertaan Meeta di
berbagai fashion show tentu saja membawa lonjakan pada permintaan busana
muslim rancangannya. Namun, Meeta tetap pada prinsipnya, tidak mau
memproduksi busana secara besar-besaran. “Saya ingin busana muslim yang
saya jual tidak pasaran, sehingga orang tidak khawatir mendapati orang
lain memakai pakaian yang sama,” jelas wanita lulusan Universitas
Parahyangan ini.
Butik Meeta kini menjadi incaran para
wanita yang ingin tampil modis dengan busana muslim, baik ke pesta
ataupun ke kantor. Banyak yang beranggapan bahwa busana rancangan Meeta
termasuk premium, meski Meeta sebetulnya tidak memosisikan dirinya
sebagai desainer dengan produk premium.