Membaca kolom perubahan Prof. Rhenald Kasali bahkan yang edisi lama pun selalu menyegarkan untuk membedah suatu masalah dari perspektif lain. Kali ini tulisan yang menarik perhatian saya adalah tentang kondisi angkutan darat (terutama di jawa, dan terutama lagi di Pantura) yang saya lansir dari kompas.com
KORUPSI? Kemungkinan besar selalu ada. Tetapi
ini sudah masuk dalam radar KPK. Pendapat umum mengatakan, di balik
setiap pengadaan besar-besaran selalu ada “tikus” besarnya.
Sama
seperti banjir, kalau tak ada lagi banjir, maka tak ada lagi proyek
Kopro Banjir (Komando Proyek Pencegahan Banjir) seperti yang dulu
dipelihara para oknum di Jakarta. Selama bertahun-tahun, waduk-waduk
penampung air dibiarkan penuh sampah dan dijadikan pemukiman. Baru
sekarang ia dibenahi.
Berbicara mengenai jalur Pantura yang
selalu rusak, kita selalu berpikir pasti spek konstruksinya dikurangi.
Faktanya, beban jalan itu memang terlalu berat. Mungkin sama dengan
beban jalur Trans Sumatera dan Trans Sulawesi. Bahkan kalau jadi, kelak
Indonesia akan punya jalan tol sepanjang 2.700 kilometer yang
menghubungkan Banda Aceh sampai Lampung. Tidak tanggung-tanggung,
bujetnya Rp 150 triliun! Tapi bagaimana kalau bebannya keberatan?
Jalur laut yang diabaikan
Cepat
rusaknya jalur Pantura dan Trans Sumatera ternyata ada hubungannya
dengan jalur laut yang terabaikan. Menurut studi yang dilakukan oleh
McKinsey dan IPC, menunjukkan, hanya 30 persen dari produksi hasil-hasil
perkebunan dan manufaktur (seperti bubur kertas) yang diangkut dari
Medan ke Jakarta lewat laut. Selebihnya, diangkut lewat darat.
Angka
ini belum termasuk sawit dan produk turunannya, karet, kayu manis,
gambir, sayur-sayuran, dan aneka mineral, besi dan seterusnya. Sekitar
70 persen hasil produksi itu, dibawa ke Jakarta lewat darat dengan
truk-truk berkapasitas besar. Ini juga sama dengan suku cadang kendaraan
dan otomotif.
Sebagian komponen otomotif yang datang dari
Thailand, diturunkan di pelabuhan Tanjung Priok, lalu dibawa pakai truk
ke lokasi perakitannya di Karawang. Nah, setelah jadi mobil, kemudian
dikirim ke kota-kota lain di luar Pulau Jawa dengan truk-truk besar
menuju pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. Baru dari pelabuhan itulah,
kendaraan diangkut dengan kapal laut menuju Balikpapan, Pontianak,
Makassar, Manado, Jayapura dan sebagainya.
Itu baru otomotif.
Bayangkan kalau semua hasil produksi yang terpusat di Cilegon,
Tangerang, Jakarta, Karawang dan Cirebon melakukan hal serupa? Jelas
Pantura cepat rusak.
Mengapa pengusaha tak memilih jalur laut? Inilah jawabannya.
Pertama,
kebijakan subsidi BBM terlalu difokuskan untuk angkutan darat. Kita
semua tahu kebijakan pemerintah terhadap subsidi BBM bersifat
diskriminatif. Akibatnya, harga BBM angkutan laut lebih mahal. Padahal
jalan tol laut dibuat oleh Tuhan, bebas biaya. Cukup buat pelabuhan yang
bagus saja.
Kedua, birokrasi di pelabuhan tidak cepat
dibenahi. Ribetnya urusan bongkar muat yang diurus banyak pihak membuat
urusan menjadi lama dan tak pasti. Bea cukai, karantina, imigrasi,
perhubungan, dan sebagainya bak pemerintahan yang urus dirinya
masing-masing.
Sewaktu saya tanya pada pengusaha mengapa hanya 30
persen yang diangkut lewat jalur laut, mereka cepat menjawab: sudah
mahal, ketidakpastiannya tinggi.
Ketiga jadwal
kedatangan kapal tidak dikelola dengan baik sehingga pengusaha harus
mencari atau menyewa kapalnya sendiri. Jalur kapal dengan jadwal pasti
yang bergerak bak pendulum dari barat ke timur seperti yang diusulkan
RJ. Lino, belum serius dijalankan pemerintah.
Keempat,
sudah laut di pelabuhannya kurang dalam, dermaga-dermaga kita
sempit-sempit. Tak ada tempat yang memadai untuk menata arus barang dan
pangkalan truk. Pelabuhan kita telah dikepung pemukiman liar yang padat.
Akibat negatifnya sangat banyak seperti truk yang membawa muatan harus
segera keluar pelabuhan begitu selesai bongkar. Apalagi tidak ada
software yang mengatur supply dan demand-nya. Sebaliknya truk-truk yang kosong, datang dari jauh untuk membawa muatan barang impor keluar dari pelabuhan.
Ini
tentu pemborosan. Jadi, jumlah truk yang ada adalah dua kali lipat dari
yang seharusnya, membuat kota-kota di jalur Pantura, termasuk Jakarta
macet oleh truk.
Sementara, karena lautnya dangkal, kapal-kapal
pengakut peti kemas berkapasitas diatas 4.000 TEUS sulit merapat. Ini
membuat biaya logistik makin mahal. Wajar kalau Faisal Basri menemukan
harga Jeruk Mandarin dan Jeruk Pakistan lebih murah dari Jeruk Brastagi.
Sebab hanya Tanjung Priok yang bisa menerima kapal-kapal besar.
Kelima,
teknologi di pelabuhan kita masih perlu ditingkatkan. Diperlukan
teknologi dan software manajemen dan birokrasi yang modern, disamping
space yang luas untuk memudahkan penempatan barang.
Keenam,
tentu saja diperlukan pelabuhan-pelabuhan yang terintegrasi. Malaysia
sendiri tengah menjual kepada investor agar berinvestasi di pelabuhan
Iskandaria yang luasnya 3 kali luas Pulau Singapura. Di situ
jalin-menjalin sebuah kesatuan antara pelabuhan, kota wisata, kota
produksi, perdagangan dan superblock perumahan. Artinya semua
aktifitas kehidupan kepelabuhanan terjadi di satu tempat. Jadi truk-truk
itu tak perlu keluar masuk pelabuhan sehingga potensi merusak jalan di
luar bisa dieliminir.
Dan ketujuh, tentu saja diperlukan
pola pikir baru dalam investasi. Diperlukan manajemen agilitas untuk
menangkap peluang-peluang ini. Birokrasi kementerian harus berubah, dari
keukeuh terhadap aturan yang saling membelenggu (aturan demi
aturan dan harga diri kementerian) menjadi manajemen yang lincah dan
berorientasi pada percepatan kesejahtraan rakyat (aturan yang pro daya
saing, yang adaptif). Sekarang ini kita masih keukeuh dengan siapa yang pegang kuasa dan siapa yang pangkat jabatannya lebih tinggi. Birokratis sekali.
Saling berhubungan
Jadi,
apa penyebabnya jalur Pantura (juga Trans Sumatra dan Trans Sulawesi)
menjadi proyek abadi? Mudah dibaca bukan? Semua kait mengait. Kuncinya
ada di pemerintahan sendiri, tinggal dibuka saja pintu-pintu yang masih
terkunci.
Maka, menjadi menarik konsep ekonomi maritim
pemerintahan Jokowi. Sebagai mantan Walikota atau Gubernur, Ia tahu
persis mengapa kota-kotanya macet, banjir, dan harga pangan naik terus.
Ia juga tahu kondisi-kondisi logistik kita. Ia juga mengerti mengapa
birokrasi-birokrasi pemerintah pusat dan daerah saling mengunci.
Maka
selain jalan tol laut, Pendulum Nusantara dan Ekonomi Maritim, semua
kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi kerakyatan perlu diurai,
dirapihkan kembali, direinvestasi lagi. Untuk presiden yang tangkas,
diperlukan agility management yang merapihkan dan mendinamisasikan cara
kerja birokrasi.
Kalau tidak, Pantura hanyalah salah satu akibat
yang kita keluhkan hanya setahun sekali saja, yaitu saat kita perlu
jalan buat mudik.