(foto:
www.merdeka.com;
Presiden jokowi membagikan traktor pada petani Subang, Jawa Barat)
Kata pencitraan
sering terdengar pada praktik politik beberapa tahun belakangan. Kata ini
merujuk pada upaya yang dilakukan satu atau sekelompok orang untuk menampilkan
kesan positif pada publik. Jika dirunut, sebenarnya tidak hanya politisi yang
kerap memanfaatkan metode pencitraan untuk menggalang dukungan publik, setiap
orang mulai dari tokoh publik non-politisi, selebritis, sampai orang awam juga
sering melakukan pencitraan terhadap dirinya. Apalagi dengan maraknya
penggunaan media sosial yang memungkinkan setiap orang dapat menampilkan citra
diri seperti yang dikehendaki.
Pada dasarnya sah-sah
saja jika pejabat publik melakukan pencitraan untuk mempublikasikan hasil
kerjanya pada rakyat. Namun jika ternyata citra yang ditampilkan tidak sesuai
dengan kenyataan di lapangan, tentu akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
Bisa dianggap sebagai kebohongan terhadap publik. Ini pula yang terjadi pada
era pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo yang baru berjalan beberapa bulan
ini. Begitu banyak ucapan dan kebijakan pencitraan yang dilakukan oleh beliau
sendiri selaku pemegang pucuk pimpinan tertinggi, maupun oleh para pembantu
beliau yang duduk dalam Kabinet Indonesia (yang katanya) Hebat.
Deretan pencitraan
itu sebenarnya sudah dimulai sebelum beliau terpilih sebagai presiden, akan
tetapi karena masih dalam masa kampanye, pencitraan itu masih belum terlalu
nampak sisi negatifnya. Pada saat beliau terpilih, harapan publik melambung
tinggi untuk mendapatkan pemimpin yang mampu membuat perubahan dan mampu
menelurkan kebijakan yang pro rakyat. Bahkan majalah sekaliber TIME menasbihkan
Joko Widodo sebagai “A New Hope”.
Namun harapan tinggal
harapan.
Banyak sekali berita,
ucapan, dan kebijakan pemerintah hanya “lip
service”. Hanya manis di muka, tapi pahit di belakang. Deretan tingkah
kontroversial dari para menteri yang ternyata tidak membuahkan hasil yang
sepadan menjadi tontonan yang penuh harapan semu bagi rakyat.
Kebijakan-kebijakan untuk mengurai masalah tidak pernah memperhatikan dampak
jangka panjang bagi masyarakat.
Kasus
Traktor.
Ini adalah kasus
pencitraan paling memprihatinkan yang pernah saya temui. Seperti diberitakan, 6
Maret 2015 lalu Presiden Joko Widodo berkunjung ke Desa Karanggebang Kecamatan
Jetis Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur untuk melakukan panen raya padi. Dalam
acara tersebut secara simbolis diserahkan pula bantuan traktor kepada petani.
Walaupun secara simbolis, tetapi ratusan traktor sudah dipajang di tepi jalan
menuju lokasi kegiatan. Setelah acara panen raya usai, traktor-traktor itu
diangkut lagi oleh pihak pabrik dengan alasan proses administrasi pengadaan
barang dari Kementerian Pertanian belum rampung. Apalagi tidak ada penjelasan
yang memadai dari panitia penyelenggara kegiatan mengenai hal tersebut. Ini
yang membuat kecewa para petani. Jika memang tidak diserahkan saat itu, mengapa
harus dipajang?
Jelas sudah bahwa
traktor yang dipajang itu merupakan bagian dari pencitraan. Boleh saja Presiden
menyalahkan Kementerian Pertanian karena sudah memberi harapan palsu pada
petani, namun kejadian ini semakin menunjukkan betapa kurangnya pemahaman
pejabat publik kita terhadap alur birokrasi sesuai peraturan perundangan yang
berlaku. Jika memang belum usai proses pengadaan barangnya, tidak usahlah
memaksakan traktor itu dipinjam dari penyedia barang untuk dipajang sehingga
menimbulkan kesan keliru dari masyarakat. Walaupun pada akhirnya tim dari
Kementerian Pertanian kembali lagi ke Ponorogo untuk memberikan penjelasan,
tetapi petani sudah kadung kecewa.
Belum lagi jika kita bicara
kejadian-kejadian pencitraan yang lain. Jika memang tidak perlu, tidak usah
menggembar-gemborkan program yang belum dilaksanakan, yang belum ada wujudnya,
yang hanya agar kelihatan sudah berbuat (padahal tidak signifikan dampak
positifnya). Rakyat tidak butuh janji, rakyat butuh bukti.
(ditayangkan pula pada www.wasathon.com)
No comments:
Post a Comment