Hangatnya kejutan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato Conferences of Parties ke 21 (COP 21) di Paris, 30 November 2015 lalu, masih banyak menjadi perbincangan di kalangan pegiat lingkungan. Penyebutan peran masyarakat adat dalam pidato internasional bisa menjadi alternatif penanganan kelestarian lingkungan, terutama di Indonesia. Selama ini, masyarakat banyak dituding sebagai pelaku utama perusakan lingkungan. Meski indikasi yang muncul menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan banyak didominasi oleh kegiatan korporasi besar, pelaku yang dituding tetap samar: masyarakat. Entah masyarakat yang mana.
Pada kasus kebakaran hutan misalnya, luasan
lahan yang rusak antara penggunaan lahan mandiri dengan penggunaan lahan
korporasi tentunya sangat berbeda jauh dampak negatifnya. Belum lagi efek
samping dari penggunaan energi dan buangan limbah industri. Tidak dipungkiri
bahwa kehidupan masyarakat modern banyak dicengkeran oleh kepentingan kaum
industrialis, kapitalis, dan gaya hidup konsumtif yang semakin mengkhawatirkan.
Dalam konteks sosiologi, sebuah issu
dapat didorong penyelesaiannya melalui gerakan sosial. Gerakan sosial merupakan
upaya terorganisir yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk merubah atau
‘menolak’ perubahan yang terjadi dalam salah satu atau beberapa sendi dalam
masyarakat (Marshall, Gordon. 1988. A Dictionary of Sociology). Tidak
terkecuali dengan issu-issu lingkungan. Apalagi dengan maraknya media sosial
saat ini yang memungkinkan tumbuh berkembangnya gerakan-gerakan sosial dengan
cepat dan jangkauan yang lebih luas. Saat suatu issu yang menyangkut hajat
hidup orang banyak, dan atau berkaitan dengan penyimpangan terhadap norma-norma
umum dilontarkan, reaksi yang ditimbulkan bisa dengan cepat terlihat. Namun
yang menjadi pertanyaan adalah apakah gerakan sosial tersebut mampu memberikan
pengaruh yang efektif dalam pengambilan kebijakan utamanya dari segi
lingkungan? Di tengah keraguan yang muncul, perlu disepakati bahwa upaya
melibatkan kesadaran kolektif masyarakat dalam membenahi lingkungan sangatlan
diperlukan. Salah satu wujud nyata upaya dimaksud adalah pemanfaatan kearifan
lokal (local wisdom) dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Secara definisi, kearifan lokal dapat
dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi
dalam ruang tertentu (Ridwan, N.A. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan
Lokal). Sedangkan menurut Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
kearifan lokal diartikan sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan
hidup secara lestari. Kearifan lokal ini banyak bersumber pada pengetahuan,
kepercayaan, ketrampilan, perilaku, dan
kebiasaan masyarakat tertentu dalam memaknai eksistensi diri dan kelompoknya
yang dijadikan landasan dalam relasi timbal balik dengan alam.
Praktik-praktik kearifan lokal dalam
perannya sebagai penjaga kelestarian lingkungan banyak ditemukan pada berbagai
suku dan daerah di Indonesia. Tentu kearifan lokal ini mempunyai bentuk yang
berbeda tergantung tantangan alam dan perilaku manusia untuk menyikapi guna
memenuhi kebutuhan dan menjaga keseimbangan dengan lingkungan. Berikut adalah
beberapa contoh praktik kearifan lokal beberapa masyarakat di Indonesia seperti
disarikan dari tulisan Suhartini sebagai Prosiding Seminar Nasional Penelitian,
Pendidikan, dan Penerapan MIPA, Fakultas
MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009:
- Pranoto Mongso. Aturan waktu musim digunakan oleh para petani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Berkaitan dengan kearifan tradisional maka pranoto mongso ini memberikan arahan kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung seperti misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat menjaga keseimbangannya.
- Nyabuk Gunung. Nyabuk gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit Sumbing dan Sindoro. Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor.
- Menganggap suatu tempat keramat. Menganggap suatu tempat keramat berarti akan membuat orang tidak merusak tempat tersebut, tetapi memeliharanya dan tidak berbuat sembarangan di tempat tersebut, karena merasa takut kalau akan berbuat sesuatu nanti akan menerima akibatnya. Misal untuk pohon beringin besar, hal ini sebenarnya merupakan bentuk konservasi juga karena dengan memelihara pohon tersebut berarti menjaga sumber air, dimana beringin akarnya sangat banyak dan biasanya didekat pohon tersebut ada sumber air.
- Komunitas adat Karampuang di Sulawesi dalam mengelola hutan mempunyai cara tersendiri dan menjadi bagian dari sistem budaya mereka. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan alam dirinya sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya terdapat aturan-aturan atau norma-norma tersendiri yang harus dipatuhi oleh semua warga masyarakat. Komunitas Karampuang masih sangat terikat dan patuh terhadap aturan-aturan adatnya, yang penuh dengan kepercayaan, pengetahuan dan pandangan kosmologi, berkaitan dengan pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan. Contohnya seperti berbunyi di dalam larangan jangan menyadap enau di pagi hari dan jangan pula menyadap enau di petang hari. Hal tersebut merupakan himbauan untuk menjaga keseimbangan ekosistem, khususnya hewan dan burung, karena menyadap pohon enau pada pagi hari dikhawatirkan akan mengganggu ketentraman beberapa jenis satwa yang bersarang di pohon enau tersebut, demikian pula pada sore hari akan menggangu satwa yang akan kembali ke sarangnya.
- Masyarakat Baduy Dalam percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada pikukuh karuhun atau tatanan kehidupan. Pikukuh itu harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy. Ketentuan-ketentuan itu diantaranya dilarang masuk hutan larangan untuk menebang pohon, membuka ladang atau mengambil hasil hutan lainnya, dilarang menebang sembarangan jenis tanaman, dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, obat pemberantas hama, dan meracuni ikan.
Kearifan lokal
juga ditemui di masyarakat internasional, Piplantri, sebuah desa kecil di
India, mengharuskan menanam 111 pohon saat seorang bayi perempuan lahir. Ini
bertujuan untuk konservasi hutan serta munculnya manfaat ekonomi dari pohon
yang ditanam sebagai jaminan bagi kelangsungan hidup si bayi saat dewasa.
Mengapa bayi perempuan? Karena pada masyarakat India, perempuan masih sering
mengalami perlakuan yang marjinal.
Dari sini dapat terlihat
bahwa kearifan lokal dapat menjadi metode yang tepat sebagai alternatif
konservasi lingkungan. Saat suatu nilai masyarakat tercampur oleh gaya hidup
modern yang abai tehadap hak-hak alam, maka saat itu pula ancaman kerusakan
lingkungan mengancam di depan mata. Semoga kita dapat mengambil manfaat dari
ribuan kearifan lokal untuk kelestarian bumi kita.
No comments:
Post a Comment