Thursday 25 June 2015

Menyaring Informasi Medsos


Dunia media sosial (medsos) memang memudahkan pengguna untuk mencari informasi. Celakanya, kadang kemudahan itu justru kerap disalahgunakan untuk menyebar kebohongan. Sejumlah kabar bohong (hoax) sengaja dihembuskan dengan berbagai macam tujuan. Yang paling keji adalah menghancurkan karakter seseorang.
Kasus terbaru di Indonesia adalah serangkaian kultwit oleh seorang anggota DPD. Dalam kultwit yang dilengkapi foto itu, disebutkan ada satu masjid yang jamaahnya seolah-olah dihalang-halangi Pemprov DKI Jakarta dengan barikade tembok dan kawat berduri untuk beribadah. Untuk efek dramatis, diberi foto anak kecil dengan tembok berduri dan diberi hashtag #GazaInJakarta. Terkesan seperti warga Palestina yang dihalang-halangi ketika hendak beribadah di Masjidil Aqsa.
Belakangan diketahui bahwa masjid tersebut ternyata berada di lahan sengketa antara pengembang dan warga. Yang lebih penting, jalan terbuka lebar. Bagaimana dengan foto-foto yang dramatis tersebut? Ternyata, itu adalah setting-an.
Setelah kabar tersebut diklarifikasi, anggota DPD itu hanya menyatakan bahwa semua itu adalah kiriman konstituennya. Padahal, banyak netizen yang sudah terpengaruh dan siap-siap bergerak untuk menghancurkan blokade tersebut.
Di tingkat internasional, ternyata ada satu kantor berita kecil di Inggris yang gemar mem-posting berita-berita aneh yang belakangan diketahui hoax. Namanya Central European News (CEN).
Pernah dengar tentang seorang perempuan cantik Tiongkok yang berencana berkeliling dunia dan bersedia tidur dengan siapa saja yang bersedia menampung akomodasi di tempat tujuan? Itu adalah karya CEN. Pernah membaca seorang pria yang selamat dari serangan beruang gara-gara ringtone suara Justin Bieber? Itu juga tulisan CEN.
Setelah sejumlah LSM pemantau media internasional menelusuri, ternyata berita-berita itu adaah hoax belaka. Padahal, peredarannya sudah begitu luas, terutama melalui news feed di Facebook.
Tidak bisa diverifikasi. Ketika tempatnya didatangi, tidak ada yang pernah tahu kabar seperti itu. Resepnya sederhana. Mendapat ide berita ngawur, cari lokasi yang sulit diverifikasi, diberi ilustrasi foto setting-an, maka jadilah.
Bisa ditebak, motivasinya adalah menjual sensasi. Berita-berita seperti itulah yang kemudian laku dibaca netizen. Buktinya, CEN sempat dibanjiri pesanan berita dari media-media mainstream.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa perlu upaya ekstra untuk memfilter informasi yang beredar di media sosial. Banyak orang yang bisa mengakses tanpa verifikasi atas berita tersebut.
Karena itu, sebaiknya lebih berhati-hati untuk tidak langsung percaya dan langsung mengecam atau meyakini sebuah kabar tertentu di media sosial. Bisa saja berita tersebut adalah hoax.

(Kolom Jati Diri Jawa Pos, Jumat 26 Juni 2015)

Wednesday 24 June 2015

Ketika Inovasi Dikebiri


Hingga kodok berbulu, mobil listrik memang tak akan lulus uji emisi. Berharap mobil listrik lulus uji emisi memang seperti berangan-angan seorang pria bisa menstruasi. Mobil listrik memang tak mungkin lulus uji emisi. Karena ia tak punya gas buang.
Tapi, ya sudah lah. Anggap saja itu hanya lelucon akibat keseleo lidah dari seorang pejabat di gedung bundar. Gambar besar dari semua ini adalah betapa hukum sekarang telah mengekang kuat sebuah inovasi. Tak pernah terbayang ketika hukum sebagai produk interaksi manusia bisa mengebiri sebuah inovasi yang menjadi lambang pencapaian kecerdasan manusia yang paling tinggi.
Di negara-negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, inovasi seperti mobil listrik bukannya nir perlawanan. Di sana mobil listrik juga dilawan, baik lewat jalur bisnis maupun politik. Namun, di sana yang melawan cukup jelas, yakni pihak yang berkepentingan atas keberlangsungan industri migas. 
Di sini? Inovasi mobil listrik dilawan tangan yang entah dari mana asalnya. Dana dari tiga BUMN, yang membantu pembiayaan riset mobil listrik, kini dipermasalahkan Kejaksaan Agung. Delapan mobil listrik yang dibuat dengan susah payah oleh anak negeri pun disita. Inovatornya pun dijadikan tersangka.
Masalah hukum memang biarlah dibuktikan di meja hijau. Namun, publik memang perlu tahu jika terdapat keganjilan dari pengusutan proyek inovatif itu. Jika BUMN dilarang membiayai proyek mobil listrik, bagaimana dengan proyek lain yang sering didanai BUMN? Apa kita sudah lupa, misalnya, bahwa tiga kartu yang paling menghebohkan di awal pemerintahan ini, kartu Indonesia pintar (KIP), kartu Indonesia sehat (KIS), dan kartu keluarga sejahtera (KKS), mulanya dibiayai dengan dana coorperate social responsibility (CSR) BUMN?
Kita hanya ingin tak boleh lagi ada upaya mematikan inovasi dari para anak negeri. Cukup banyak putra-putri terbaik kita yang berada di mancanegara enggan pulang ke tanah air karena memang tidak ada tempat dan iklim yang kondusif untuk memanfaatkan ilmunya. Kasus mobil listrik ini jelas menjadi pukulan telak bagi mereka.
Atau jangan-jangan kita memang hanya butuh birokrat-birokrat memble yang hanya mengerjakan tugas seadanya? Jika itu yang terjadi, tak usah bermimpi menjadi negara maju dalam waktu dekat.

(Kolom Jati Diri Jawa Pos, Kamis 25 Juni 2015)

Friday 19 June 2015

Prof Rhenald Kasali: Pendidikan dan Mata Rantai Kemiskinan


KISAH anak-anak dari keluarga kurang mampu yang berhasil menembus perguruan tinggi sudah sering kita dengar. Seperti dialami Raeni, anak tukang becak yang meraih IPK 3,96 di Universitas Negeri Semarang. Ia bahkan mendapat tawaran kuliah S-2 ke Inggris.
Setiap kali ke daerah pertanian, saya sering menemukan petani yang melakukan segala upaya agar anak-anaknya jangan lagi jadi petani, dengan menyekolahkan anaknya menjadi sarjana.
Namun, sukseskah mereka memutus mata rantai kemiskinan? Bukankah pada statutanya kini PTN BH wajib memberikan beasiswa 20 persen untuk kalangan kurang mampu?

Aliran kognitif

Kesadaran afirmatif, memberi akses pendidikan seperti di atas bukan hanya ada di sini. Harusnya kita percaya sekolah bisa menjadi anak tangga yang bagus untuk memutus mata rantai kemiskinan. Pendapat umum mengatakan keluarga miskin melahirkan generasi-generasi yang sama miskinnya karena ketiadaan akses untuk mencapai pendidikan yang tinggi.

Polanya begini: seorang anak lahir dari ibu yang menikah di usia dini, lalu bercerai, ibu harus bekerja keras, pindah dari satu kota ke kota lainnya. Kadang tinggal bersama nenek, menumpang hidup di kawasan yang padat. Anak pergi sekolah dengan perut lapar, sementara teman-teman ikut les Kumon atau dari guru sekolah. Lalu ia pun bosan dengan sekolah, sering tak masuk, prestasi terpuruk, terlibat perkelahian, drop out, punya anak di luar nikah, lalu jatuh miskin lagi. Begitu seterusnya.

Mungkin, jika diberi gizi, perhatian, dan akses agar bisa sekolah lagi, mereka akan bisa keluar dari mata rantai kemiskinan. Namun, penerima Nobel Ekonomi tahun 2000, James Heckman, menggelengkan kepalanya. Faktanya, hanya 3 persen yang bisa menamatkan perguruan tinggi. Padahal, anak-anak dari keluarga biasa mencapai 46 persen. Demikian juga kemampuan memperbaiki ekonomi keluarga: pendapatan tahunan, pengangguran, angka perceraian, dan keterlibatan dalam kriminalitas. Prestasi ekonomi keluarga miskin yang mendapatkan program afirmasi pendidikan ternyata tetap sama dengan anak-anak yang drop out dari sekolah. Apa sebab?

Tahun 1994 dua ilmuwan yang dituding rasis (Muray & Herrnstein, dalam Bell Curve) mengarahkan temuannya pada masalah DNA. Namun, berdasarkan kajian ekonometrika, Heckman menemukan masalahnya ada di sekolah itu sendiri. Sekolah-sekolah yang sering kita lihat di sini (terlalu kognitif dan membebani) tak akan mampu memutus mata rantai kemiskinan. Sekolah kognitif terlampau mekanistik.

Wajar sekarang kita menyaksikan banyak sarjana menganggur, bahkan yang sudah bekerja kurang efektif. Padahal, mereka tak kalah pengetahuan, indeks prestasi mereka kini bagus-bagus. Cenderung kalah dengan lulusan luar negeri yang hanya menempuh 124 SKS (S-1). Sementara sarjana kita menempuh 144-152 SKS.

Sekolah nonkognitif

Heckman menemukan variabel-variabel nonkognitif yang justru tak diberikan di sekolah menjadi penentu keberhasilan seseorang untuk memutus mata rantai kemiskinan. Variabel itu adalah keterampilan meregulasi diri, mulai dari mengendalikan perhatian dan perbuatan, sampai kemampuan mengelola daya tahan (persistensi), menghadapi tekanan, menunda kenikmatan, ketekunan menghadapi kejenuhan, dan kecenderungan untuk menjalankan rencana.

Nah keterampilan-keterampilan seperti itu, menurut Heckman, sering kali absen dalam sekolah kognitif. Tanpa itu, anak-anak yang dibesarkan dari keluarga menengah ke atas pun akan jatuh pada lembah kemiskinan. Sekolah kognitif sendiri digemari banyak kalangan kelas menengah karena substitusi atau penguatnya bisa dibeli di ”pasar”m semisal Kumon, guru les atau orangtua yang rajin memberi latihan. Namun, anak-anak dari kalangan kurang mampu punya banyak keterbatasan. Selain orangtuanya tidak mengerti, mereka juga harus bekerja keras mencari nafkah di luar jam kerja.

”Ilmu-ilmu tertentu itu, seperti kalkulus, sangat mekanistik,” kata Paul Tough (How Children Succeed, 2012). ”Kalau memulai lebih dulu dan banyak berlatih, mereka akan lebih cepat menyelesaikan soal-soalnya. Namun, aspek-aspek nonkognitif tak bisa didapat dengan mudah.”

Itulah sebabnya di PAUD Kutilang Rumah Perubahan, kami mengembangkan metode non-kognitif. Itu pun belum cukup. Guru dan orangtua diwajibkan seminggu sekali mengikuti bimbingan cara membaca anak. Kebiasaan buruk orangtua yang merupakan cerminan dari buruknya aspek nonkognitif tadi menjadi penguat mata rantai kemiskinan di setiap generasi berikutnya.

Bimbingan dan metode nonkognitif itu harusnya dibangun sedari dini. Tantangan-tantangan nonkognitif seperti itu tampaknya berat sekali dibangun di sini mengingat dua-tiga generasi pendidiknya guru dan dosen kognitif yang rewel dengan kemampuan menghafal, berhitung, atau memindahkan buku ke kertas.

Saya ingin Anda menengok penjelajahan nonkognitif yang saya tanam dalam kelas saya di UI. Satu kelas mahasiswa dikirim ke luar negeri dalam program one person-one nation, lalu pengalamannya mereka tulis dalam buku: 30 Paspor. Di situ anak-anak belajar menumbuhkan aspek nonkognitif, merefleksikan kehidupan, mengambil keputusan dalam menghadapi kesulitan seorang diri di luar negeri. Kita percaya pendidikan bisa memutus rantai kemiskinan. Namun, bukan pendidikan superkognitif seperti sering kita dengar dari orang-orang yang gemar mendebatkan cuma soal kali-kalian, padahal persoalan hidup terbesar justru ada di soal bagi-bagian. Dan untuk adil membagi dibutuhkan keterampilan hidup nonkognitif.

(sumber: www.kompas.com)

Tuesday 16 June 2015

Dorong Investasi Sektor Pangan


Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) ikut turun tangan untuk memperbaiki tata kelola pangan nasional. Dengan mengerahkan 25 ribu anggotanya di daerah-daerah, Hipmi yakin mampu mendorong produksi serta distribusi bahan pangan sehingga bisa menurunkan inflasi.
"Kami ingin sekali membantu sekuat tenaga. Yang bisa kami lakukan saat ini adalah membuat edaran agar para anggota Hipmi di daerah-daerah segera berinvestasi di sektor pangan, mulai dari produksi hingga distribusi" ujar Ketua Badan Otonom Bidang Bisnis, Investasi, dan UKM Badan Pengurus Pusat (BPP) Hipmi Hardini Puspasari (4/6).
Dia menegaskan, Hipmi siap mendukung perbaikan tata kelola pangan nasional yang saat ini infrastrukturnya kurang memadai. kondisi itu membuat harga melonjak pada momen-momen hari besar
Bulan lalu inflasi mencapai 0,5 persen, tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Kaau pemerintah tidak membuat kebijakan yang pas, bulan ini inflasi bisa menggila.
Menurut Dini, panggilan Hardini, perbaikan tata kelola pangan nasional harus dikerjakan oleh seluruh elemen masyarakat. "Bukan hanya pemerintah, tetapi juga kalangan masyarakat dan pengusaha, termasuk pengusaha muda" ungkapnya.
Dengan kemampuan finansial pengusaha, dia berharap pihaknya bisa turut memastikan ketercukupanpasokan bahan makanan di seluruh wilayah. Juga memastikan jalur distribusi yang memadai dan terjangkau sehingga bisa memangkas biaya logistik. "Anggota Hipmi tersebar di seluruh Indonesia. Jadi, itu modal kuat kami untuk ikut membantu mengatasi masalah pangan" paparnya.
ditambahkan, Hipmi akan berperan besar dalam menjaga stabilitas harga komoditas bahan makanan Indonesia. Pihaknya  mendorong setiap pengurus Hipmi di daerah untuk mengembangkan lini bisnis di sektor bahan pangan. "Harapan kami, dalam tiga bulan ke depan, pasokan bahan makanan seperti beras, cabai, ikan, telur, dan ayam ras bisa tercukupi. Kami sedang hitung kebutuhannya," tutur dia.
Bahkan kalau perlu, Hipmi juga menghitung biaya investasi untuk membangun cold storage (lemari pendingin) guna menyimpan bahan pokok yang gampang busuk seperti cabai. "Rasanya tidak masuk akal kalau harga cabai bisa mendongkrak inflasi Mei 2015 seperti laporan BPS. Padahal, cabai bisa tumbuh di banyak daerah Indonesia," sebutnya.
Hipmi mendorong anggotanya untuk mengembangkan komoditas bahan makanan yang menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia. Dengan teknologi pertanian yang tepat, bibit yang unggul, dan modal besar pengusaha, dia yakin bahwa persoalan kurangnya pasokan bahan pangan bisa diatasi.
"Seperti beras yang bisa panen setiap tiga bulan. Kami coba buka peluang bisnis dan investasi di semua komoditas," tambahnya.
Namun, dia menyadari bahwa peningkatan kapasitas produksi komoditas bahan pangan sangat bergantung teknologi dan pupuk yang digunakan petani. Karena itu, Hipmi akan memanfaatkan bantuan pupuk yang disediakan pemerintah untuk menurunkan biaya. "Kami akan bantu untuk mengajukan bantuan pupuk kepada pemerintah," lanjut dia.
Dini menjelaskan, produksi bahan makanan yang besar tentu membutuhkan moda transportasi yang memadai untuk distribusi. Pada bagian itu, Hipmi meminta anggotanya mengembangkan moda transportasi yang berfokus pada kebutuhan distribusi bahan makanan di daerah.

(Jawa Pos, Jum'at 5 Juni 2015)

Thursday 11 June 2015

Maafkan Kami, Angeline


Kasus kematian Angeline sungguh meruntuhkan hati. Kami, orang-orang dewasa, merasa ditampar. Sedih sekaligus malu. Tidak pernah terpikir bagaimana hal itu bisa terjadi di negara yang senantiasa mengklaim warganya ramah dan sopan.
Tragis membayangkan nasib yang dijalani bocah cantik tersebut. Saat lahir, orang tuanya sudah menganggapnya sebagai beban dan merelakannya diadopsi. Angeline lalu dijadikan anak angkat oleh seorang pria bule yang meninggal tiga tahun lalu.
Cerita kehidupan Angeline setelah itu mungkin lebih dramatis daripada script sinetron paling lebay sekalipun. Menurut pengakuan guru dan tetangga, Angeline diperlakukan tidak seperti anak pada umumnya. Dia harus memberi makan ratusan ayam dan berjalan ke sekolah sejauh 2 km sampai tubuhnya selalu kotor sehingga membuat bu guru tergerak untuk mencuci rambutnya.
Polisi akhirnya menemukan bahwa Angeline meninggal secara tidak wajar. Ada luka bekas sundutan rokok dan bekas-bekas lain yang menunjukkan kekejaman yang diterima bocah 8 tahun tersebut. Rasanya tidak bisa membayangkan jiwa semungil itu menerima perlakuan sadis.
Peristiwa tersebut menyodorkan fakta yang sangat memprihatinkan. Ada sesuatu yang salah dengan lingkungan. Memang, banyak aturan dan UU terkait dengan perlindungan anak. Tetapi, kasus-kasus memprihatinkan soal anak ternyata masih saja terjadi. Selain Angeline, baru-baru ini ada kasus penelantaran lima anak oleh orang tuanya di Cibubur.
Lingkungan sosial, tampaknya, tidak mampu membela anak-anak dari kejahatan orang-orang yang seharusnya melindungi mereka. Apa langkah tetangga ketika melihat Angeine yang menurut mereka dididik dengan begitu keras sehingga terkesan tertekan itu? Memang, mereka tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Nanti dipikir ikut campur urusan domestik. tetapi, semua memiliki batas-batas dan hal itu harus disadari.
Bagaimana dengan negara? Setelah kejadian, polisi patut diacungi jempol karena bisa mengungkap kasus tersebut, meski masih banyak pertanyaan. Namun, apa langkah preventifnya? Itulah yang tampaknya hilang harapan.
Kekuasaan kini berada pada fase yang sangat memuakkan. Intrik politik terjadi. Perang antar elite lembaga hanya saling melemahkan, saling menjatuhkan. Bisik-bisik kongkalikong untuk banyak proyek, meributkan tempat kelahiran Soekarno, dan hal-hal menggelikan lainnya. Nyaris abai terhadap kepentingan masyarakat banyak.
Meski sudah terlambat, setidaknya jangan membuat kematian Angeline sia-sia. Harus ada perubahan.
Untuk Angeline, istirahatlah dengan tenang sayang. Maafkan kami, orang-orang dewasa ini, yang gagal melindungimu. Kami berdoa untukmu dan berdoa agar kami diberi kekuatan untuk mampu mencegah terulangnya kekejian seperti yang terjadi padamu.

(Kolom Jati Diri Jawa Pos, Jumat 12 Juni 2015)

Wednesday 3 June 2015

Teknologi Kampus vs Teknologi Kampung

Bulan baru, waktunya merefresh pikiran dengan artikel Prof. Rhenald Kasali yang menginspirasi! (sumber: www.kompas.com)


Selesai menelisik calon komisioner KPK minggu lalu, saya dijemput seorang teman  menuju sebuah kampung, dekat kawasan industri yang jaraknya sekitar 80 kilometer dari kota Semarang. Di bagian belakang sebuah rumah yang hampir rubuh dan kusam saya menyaksikan tumpukan besi, alat las, tabung besar elpiji dan beberapa tong berisi air.

Di sana saya diterima seorang “montir” genius yang berhasil membuat pembakaran super hemat energi. Lulusan sebuah akademi dari Jepang ini menunjukkan kepada saya teknologi yang terlihat sederhana, hasil eksperimen tiada henti selama 8 tahun. Menurut rekan saya dari Jepang, teknologi ini original, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

Atas rekomendasi seseorang, ia diminta bertemu dengan saya. Karena tak mengerti teknologi, saya menghubungi teman-teman dari fakultas teknik, sejumlah fisikawan, dan ahli kimia. Seperti biasa, ilmuwan selalu menyangsikan temuan montir lapangan. Padahal energi ini merupakan proses fisika-kimia yang unik, yang bisa mengubah dunia.

“Secara fisika, itu mungkin, tetapi energi untuk membuat energi itu secara teoritik lebih besar," ujar mereka.  

Karena penasaran, saya merekam semua prosesnya. Saya lalu mengundang beberapa orang pegusaha. Respon yang berbeda saya dapatkan. Walau ada keragu-raguan, para insinyur pengusaha itu takjub dan mau memberi kesempatan. Sang penemu yang tadinya loyo, kini seperti dapat suntikan energi baru. Dahlan Iskan yang saya tunjukkan temuannya malah  memberi dorongan.  Beberapa perusahaan asing ingin menjajaki kerjasama.

“Biasanya, ilmuwan selalu tidak percaya terhadap hal-hal seperti ini. Tetapi biarlah mereka mencoba, biasanya banyak kejutan,” ujar Menteri BUMN ini.

Proyek pengembangan energi baru ini kita mulai secara kecil- kecilan. Kami mempersiapkan segala urusan yang melengkapinya.

Sewaktu saya tanya apa yang membuat ia mempercayakan temuan itu kepada saya, mereka cuma menjawab singkat: Kami ingin ikut membangun negeri namun butuh pemeriksaan scientific-nya.  “Iya, tapi mengapa harus ke saya?” Sambil tersenyum mereka hanya berujar singkat, “Ini sebuah amanah."

Kampung dan Kampus

Apa yang diamanahkan "montir" kampung itu mungkin tidak keren bagi kebanyakan ilmuwan kampus.  Tapi, seperti kata mendiang Deng Xiaoping, bagi saya tidak penting, mau dia berwarna hitam atau putih, selama dia bisa menangkap tikus itulah kucing yang kita cari.

Saya jadi ingat kedatangan seorang ibu rumah tangga yang gemar mengolah herbal dari bahan alami ke Rumah Perubahan. Dengan semangat ia menunjukkan produk barunya yang mampu meluruhkan kolesterol, dan satunya lagi menurunkan gula darah.

Sebagai wirausaha sosial yang gigih, bersama suaminya yang dulu bekerja di Astra, mereka telah menolong banyak orang. Tetapi secara scientific jelas masih jauh. Mereka hanya tahu bagaimana mendapatkan ijin dari Badan POM, mengurus berbagai sertifikat, dan membuat kemasan yang bagus. Mereka lalu dibantu oleh ilmuwan-ilmuwan LIPI dan sejumlah dokter muda yang memberi masukan pribadi secara gratis.

Boleh dibilang produknya  memberi banyak harapan pada yang mulai putus asa dalam berobat. Orang tua saya termasuk orang yang mengakui manfaatnya.

Lantas bagaimana sikap kampus?

Sikap sebagian dari mereka, maaf, justru berkebalikan. Bukannya pujian atau kegairahan membawa temuan itu ke dalam studi laboratorium, mereka malah memberikan sinisme.  Alih-alih mempersoalkan kebenaran ilmiah, mereka justru menggunakan ayat-ayat agama untuk mendebat proses fermentasi yang terkandung dari produk itu.

Lalu ketika si ibu tadi, dengan bantuan teman-teman dokternya berhasil memasukkan kajiannya pada sebuah jurnal ilmiah, mereka kembali menyerang. “Itu jurnal abal-abal,” katanya.

Sayangnya, tak banyak ilmuwan kampus yang mengerti bahwa bagi seorang pengusaha kecil, melakukan kajian ilmiah amat meletihkan dan mahal. Seorang teman yang berhasil membuat air embun misalnya, mengeluarkan Rp 1 miliar - Rp 3 miliar untuk membiayai eksperimen kampus dengan melibatkan 90 orang responden (pasien) dari sebuah rumah sakit.

Bagi  kampus, eksperimen seperti itu di era saat ini telah lebih banyak dilihat sebagai  proyek yang bisa menambah penghasilan. Tetapi bagi pengusaha kecil, bila kajiannya positif dan dipublikasi secara ilmiah, dapat menjadi jembatan emas menuju masa depan.

Setelah itu, masih banyak perjuangan yang harus mereka tempuh untuk “menaklukkan pasar”. Maklum, para distributor dan retailer lebih senang menjual barang-barang yang sudah dikenal, yang turn over-nya tinggi, dan memberikan mereka insentif yang memadai.

Sementara itu, objektif para peneliti bukanlah mengembangkan teknologi, melainkan publikasi ilmiah.

Tacit dan Eksplisit

Di sini ada masalah, antara tacit knowledge (yang didapat dari latihan dan praktik) dengan explicit knowledge (yang bisa dicatat, dibukukan). Maka, kini ada dua bandul yang saling berhadap-hadapan. Satu bandul dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan kampung melalui ketrampilan tacit-nya, yang menjadi teknopreneur, namun berhenti begitu produk ditemukan dan dikomersialkan secara terbatas. Dan satunya lagi oleh ilmuwan-ilmuwan kampus yang juga berhenti pada publikasi ilmiah sebelum menjadi teknologi.

Ini tentu berbeda dengan kondisi di negara-negara industri dimana kampus telah menjadi jembatan kokoh dalam mendukung kemajuan industri dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Orientasi kampus kelas dunia itu bukan sekedar publikasi, melainkan impak. Bukan paper, melainkan paten, lisensi, teknopreneurship, dan kegiatan usaha.

Di kampus-kampus ternama di dunia, Anda akan menemukan Campus Technology Transfer Office, unit penggerak utama student entrepreneurship yang didorong oleh negara dan kampus agar menjadi alat bagi tumbuhnya proses transfer teknologi dan pembangunan ekonomi. Unit ini juga menjadi alat penting untuk membawa hasil riset ke pasar.

Tak usah jauh- jauh, di Thailand saja kita mudah mendapatkan kampus serupa yang mentransfer temuan-temuan baru dalam bidang pertanian. Bahkan pada tataran tertentu kita juga temukan di IPB.

Mereka bukan cuma sibuk meneliti, melainkan mengkaji temuan dari dunia tacit  ke dalam  dunia explisit, lalu bersama-sama mengurus patentability dan marketability-nya. Di University of Missouri Colombia saja, 33,3 persen dari pendapatan universitasnya berasal dari uang transfer karya-karya cipta teknologinya.

Lantas bagaimana perguruan tinggi Indonesia mau maju kalau mahasiswanya tidak dijadikan teknopreneur? Adalah biasa kita saksikan mahasiswa yang belajar ilmu kimia atau teknik, justru menjadi wirausahawan kuliner jajanan pasar yang bertarung melawan ekonomi rakyat di kaki lima. Sementara teknologi yang seharusnya bisa kita buat sendiri terus menerus didatangkan dari luar negri.

Bagaimana menjembatani ilmuwan-ilmuwan tacit yang tangannya gatal dan hanya berhenti di produk akhir dengan ilmuwan-ilmuwan kampus yang hanya berhenti di publikasi ilmiah saja? Keduanya juga saling berjauhan, bahkan tidak berkomunikasi. Ini jelas pekerjaan rumah bagi para pemimpin kampus, peneliti, dan tentu bagi menteri pendidikan tinggi dan riset yang bulan depan sudah harus mulai bekerja. Kita perlu merombak cara berpikir, membuat platform kewirausahaan baru bagi kaum muda, dan melakukan terobosan.