Tuesday 28 April 2015

Memajang Traktor Agar Tersohor



(foto: www.merdeka.com; Presiden jokowi membagikan traktor pada petani Subang, Jawa Barat)

Kata pencitraan sering terdengar pada praktik politik beberapa tahun belakangan. Kata ini merujuk pada upaya yang dilakukan satu atau sekelompok orang untuk menampilkan kesan positif pada publik. Jika dirunut, sebenarnya tidak hanya politisi yang kerap memanfaatkan metode pencitraan untuk menggalang dukungan publik, setiap orang mulai dari tokoh publik non-politisi, selebritis, sampai orang awam juga sering melakukan pencitraan terhadap dirinya. Apalagi dengan maraknya penggunaan media sosial yang memungkinkan setiap orang dapat menampilkan citra diri seperti yang dikehendaki.



Pada dasarnya sah-sah saja jika pejabat publik melakukan pencitraan untuk mempublikasikan hasil kerjanya pada rakyat. Namun jika ternyata citra yang ditampilkan tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, tentu akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Bisa dianggap sebagai kebohongan terhadap publik. Ini pula yang terjadi pada era pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo yang baru berjalan beberapa bulan ini. Begitu banyak ucapan dan kebijakan pencitraan yang dilakukan oleh beliau sendiri selaku pemegang pucuk pimpinan tertinggi, maupun oleh para pembantu beliau yang duduk dalam Kabinet Indonesia (yang katanya) Hebat.



Deretan pencitraan itu sebenarnya sudah dimulai sebelum beliau terpilih sebagai presiden, akan tetapi karena masih dalam masa kampanye, pencitraan itu masih belum terlalu nampak sisi negatifnya. Pada saat beliau terpilih, harapan publik melambung tinggi untuk mendapatkan pemimpin yang mampu membuat perubahan dan mampu menelurkan kebijakan yang pro rakyat. Bahkan majalah sekaliber TIME menasbihkan Joko Widodo sebagai “A New Hope”.



Namun harapan tinggal harapan.

Banyak sekali berita, ucapan, dan kebijakan pemerintah hanya “lip service”. Hanya manis di muka, tapi pahit di belakang. Deretan tingkah kontroversial dari para menteri yang ternyata tidak membuahkan hasil yang sepadan menjadi tontonan yang penuh harapan semu bagi rakyat. Kebijakan-kebijakan untuk mengurai masalah tidak pernah memperhatikan dampak jangka panjang bagi masyarakat.



Kasus Traktor.



Ini adalah kasus pencitraan paling memprihatinkan yang pernah saya temui. Seperti diberitakan, 6 Maret 2015 lalu Presiden Joko Widodo berkunjung ke Desa Karanggebang Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur untuk melakukan panen raya padi. Dalam acara tersebut secara simbolis diserahkan pula bantuan traktor kepada petani. Walaupun secara simbolis, tetapi ratusan traktor sudah dipajang di tepi jalan menuju lokasi kegiatan. Setelah acara panen raya usai, traktor-traktor itu diangkut lagi oleh pihak pabrik dengan alasan proses administrasi pengadaan barang dari Kementerian Pertanian belum rampung. Apalagi tidak ada penjelasan yang memadai dari panitia penyelenggara kegiatan mengenai hal tersebut. Ini yang membuat kecewa para petani. Jika memang tidak diserahkan saat itu, mengapa harus dipajang?



Jelas sudah bahwa traktor yang dipajang itu merupakan bagian dari pencitraan. Boleh saja Presiden menyalahkan Kementerian Pertanian karena sudah memberi harapan palsu pada petani, namun kejadian ini semakin menunjukkan betapa kurangnya pemahaman pejabat publik kita terhadap alur birokrasi sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Jika memang belum usai proses pengadaan barangnya, tidak usahlah memaksakan traktor itu dipinjam dari penyedia barang untuk dipajang sehingga menimbulkan kesan keliru dari masyarakat. Walaupun pada akhirnya tim dari Kementerian Pertanian kembali lagi ke Ponorogo untuk memberikan penjelasan, tetapi petani sudah kadung kecewa.


Belum lagi jika kita bicara kejadian-kejadian pencitraan yang lain. Jika memang tidak perlu, tidak usah menggembar-gemborkan program yang belum dilaksanakan, yang belum ada wujudnya, yang hanya agar kelihatan sudah berbuat (padahal tidak signifikan dampak positifnya). Rakyat tidak butuh janji, rakyat butuh bukti. 

(ditayangkan pula pada www.wasathon.com)

No comments:

Post a Comment