Sunday 26 April 2015

Rhenald Kasali: Jalan Pantura Cepat Rusak, Karena Korupsi?

Membaca kolom perubahan Prof. Rhenald Kasali bahkan yang edisi lama pun selalu menyegarkan untuk membedah suatu masalah dari perspektif lain. Kali ini tulisan yang menarik perhatian saya adalah tentang kondisi angkutan darat (terutama di jawa, dan terutama lagi di Pantura) yang saya lansir dari kompas.com



KORUPSI? Kemungkinan besar selalu ada. Tetapi ini sudah masuk dalam radar KPK. Pendapat umum mengatakan, di balik setiap pengadaan besar-besaran selalu ada “tikus” besarnya.

Sama seperti banjir, kalau tak ada lagi banjir, maka tak ada lagi proyek Kopro Banjir (Komando Proyek Pencegahan Banjir) seperti yang dulu dipelihara para oknum di Jakarta. Selama bertahun-tahun, waduk-waduk penampung air dibiarkan penuh sampah dan dijadikan pemukiman. Baru sekarang ia dibenahi.

Berbicara mengenai jalur Pantura yang selalu rusak, kita selalu berpikir pasti spek konstruksinya dikurangi. Faktanya, beban jalan itu memang terlalu berat. Mungkin sama dengan beban jalur Trans Sumatera dan Trans Sulawesi. Bahkan kalau jadi, kelak Indonesia akan punya jalan tol sepanjang 2.700 kilometer yang menghubungkan Banda Aceh sampai Lampung. Tidak tanggung-tanggung, bujetnya Rp 150 triliun! Tapi bagaimana kalau bebannya keberatan?

Jalur laut yang diabaikan

Cepat rusaknya jalur Pantura dan Trans Sumatera ternyata ada hubungannya dengan jalur laut yang terabaikan. Menurut studi yang dilakukan oleh McKinsey dan IPC, menunjukkan, hanya 30 persen dari produksi hasil-hasil perkebunan dan manufaktur (seperti bubur kertas) yang diangkut dari Medan ke Jakarta lewat laut. Selebihnya, diangkut lewat darat.

Angka ini belum termasuk sawit dan produk turunannya, karet, kayu manis, gambir, sayur-sayuran, dan aneka mineral, besi dan seterusnya. Sekitar 70 persen hasil produksi itu, dibawa ke Jakarta lewat darat dengan truk-truk berkapasitas besar. Ini juga sama dengan suku cadang kendaraan dan otomotif.

Sebagian komponen otomotif yang datang dari Thailand, diturunkan di pelabuhan Tanjung Priok, lalu dibawa pakai truk ke lokasi perakitannya di Karawang. Nah, setelah jadi mobil, kemudian dikirim ke kota-kota lain di luar Pulau Jawa dengan truk-truk besar menuju pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. Baru dari pelabuhan itulah, kendaraan diangkut dengan kapal laut menuju Balikpapan, Pontianak, Makassar, Manado, Jayapura dan sebagainya.

Itu baru otomotif. Bayangkan kalau semua hasil produksi yang terpusat di Cilegon, Tangerang, Jakarta, Karawang dan Cirebon melakukan hal serupa? Jelas Pantura cepat rusak.
Mengapa pengusaha tak memilih jalur laut? Inilah jawabannya.

Pertama, kebijakan subsidi BBM terlalu difokuskan untuk angkutan darat. Kita semua tahu kebijakan pemerintah terhadap subsidi BBM bersifat diskriminatif. Akibatnya, harga BBM angkutan laut lebih mahal. Padahal jalan tol laut dibuat oleh Tuhan, bebas biaya. Cukup buat pelabuhan yang bagus saja.

Kedua, birokrasi di pelabuhan tidak cepat dibenahi. Ribetnya urusan bongkar muat yang diurus banyak pihak membuat urusan menjadi lama dan tak pasti. Bea cukai, karantina, imigrasi, perhubungan, dan sebagainya bak pemerintahan yang urus dirinya masing-masing.
Sewaktu saya tanya pada pengusaha mengapa hanya 30 persen yang diangkut lewat jalur laut, mereka cepat menjawab: sudah mahal, ketidakpastiannya tinggi.

Ketiga jadwal kedatangan kapal tidak dikelola dengan baik sehingga pengusaha harus mencari atau menyewa kapalnya sendiri. Jalur kapal dengan jadwal pasti yang bergerak bak pendulum dari barat ke timur seperti yang diusulkan RJ. Lino, belum serius dijalankan pemerintah.

Keempat, sudah laut di pelabuhannya kurang dalam, dermaga-dermaga kita sempit-sempit. Tak ada tempat yang memadai untuk menata arus barang dan pangkalan truk. Pelabuhan kita telah dikepung pemukiman liar yang padat. Akibat negatifnya sangat banyak seperti truk yang membawa muatan harus segera keluar pelabuhan begitu selesai bongkar. Apalagi tidak ada software yang mengatur supply dan demand-nya. Sebaliknya truk-truk yang kosong, datang dari jauh untuk membawa muatan  barang impor keluar dari pelabuhan.

Ini tentu pemborosan. Jadi, jumlah truk yang ada adalah dua kali lipat dari yang seharusnya, membuat kota-kota di jalur Pantura, termasuk Jakarta macet oleh truk.

Sementara, karena lautnya dangkal, kapal-kapal pengakut peti kemas berkapasitas diatas 4.000 TEUS sulit merapat. Ini membuat biaya logistik makin mahal. Wajar kalau Faisal Basri menemukan harga Jeruk Mandarin dan Jeruk Pakistan lebih murah dari Jeruk Brastagi. Sebab hanya Tanjung Priok yang bisa menerima kapal-kapal besar.

Kelima, teknologi di pelabuhan kita masih perlu ditingkatkan. Diperlukan teknologi dan software manajemen dan birokrasi yang modern, disamping space yang luas untuk memudahkan penempatan barang.

Keenam, tentu saja diperlukan pelabuhan-pelabuhan yang terintegrasi. Malaysia sendiri tengah menjual kepada investor agar berinvestasi di pelabuhan Iskandaria yang luasnya 3 kali luas Pulau Singapura. Di situ jalin-menjalin sebuah kesatuan antara pelabuhan, kota wisata, kota produksi, perdagangan dan superblock perumahan. Artinya semua aktifitas kehidupan kepelabuhanan terjadi di satu tempat. Jadi truk-truk itu tak perlu keluar masuk pelabuhan sehingga potensi merusak jalan di luar bisa dieliminir.

Dan ketujuh, tentu saja diperlukan pola pikir baru dalam investasi. Diperlukan manajemen agilitas untuk menangkap peluang-peluang ini. Birokrasi kementerian harus berubah, dari keukeuh terhadap aturan yang saling membelenggu (aturan demi aturan dan harga diri kementerian) menjadi manajemen yang lincah dan berorientasi pada percepatan kesejahtraan rakyat (aturan yang pro daya saing, yang adaptif). Sekarang ini kita masih keukeuh dengan siapa yang pegang kuasa dan siapa yang pangkat jabatannya lebih tinggi. Birokratis sekali.

Saling berhubungan

Jadi, apa penyebabnya jalur Pantura (juga Trans Sumatra dan Trans Sulawesi) menjadi proyek abadi? Mudah dibaca bukan? Semua kait mengait. Kuncinya ada di pemerintahan sendiri, tinggal dibuka saja pintu-pintu yang masih terkunci.

Maka, menjadi menarik konsep ekonomi maritim pemerintahan Jokowi. Sebagai mantan Walikota atau Gubernur, Ia tahu persis mengapa kota-kotanya macet, banjir, dan harga pangan naik terus. Ia juga tahu kondisi-kondisi logistik kita. Ia juga mengerti mengapa birokrasi-birokrasi pemerintah pusat dan daerah saling mengunci.

Maka selain jalan tol laut, Pendulum Nusantara dan Ekonomi Maritim, semua kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi kerakyatan perlu diurai, dirapihkan kembali, direinvestasi lagi. Untuk presiden yang tangkas, diperlukan agility management yang merapihkan dan mendinamisasikan cara kerja birokrasi.

Kalau tidak, Pantura hanyalah salah satu akibat yang kita keluhkan hanya setahun sekali saja, yaitu saat kita perlu jalan buat mudik.

No comments:

Post a Comment