Batu, 16 Februari 2012
Hamil? Anak kedua? Yippie yee... Perasaan senang, gugup, sekaligus excited
bercampur menjadi satu. Padahal sudah pernah mengalami proses ini
hampir lima tahun yang lalu, tapi seperti baru pertama kalinya. Jika di flash back, sepertinya aku sempat mengalami baby blues syndrome pasca persalinan yang pertama. Walaupun bukan dalam skala yang berat, tapi aku yakin kalau itu adalah tanda-tanda dari baby blues.
Dari beberapa referensi yang aku baca, rasa putus asa, gelisah, sering
menangis tanpa sebab dan menolak terhadap bayi yang baru dilahirkan
adalah beberapa gejala dari sindrom ini. Apalagi sebagai wanita yang
bekerja, perubahan rutinitas ini sempat membuat kaget. Hal ini merupakan
sesuatu yang umum terjadi pada ibu yang baru melahirkan, bahkan hampir
80% ibu baru akan mengalaminya. Aku sempat merasa tidak berharga dan
kehilangan orientasi dalam hidup. Beberapa hobi dan kebiasaan
menyenangkan yang sering aku jalani seakan tidak mempunyai arti lagi. Life completely changes after having birth!!
Tapi aku sayang bayiku. Aku merasa terikat dengannya dan merasa siap
menantang maut demi melindungi tangan mungil dan wajah malaikat kecilku.
Aku sepenuhnya sadar dan tahu jika aku sedang mengalami sindrom yang
menjadi momok para ibu setelah melahirkan itu. Dan aku berusaha sebisa
mungkin untuk bangkit dan mengatasinya. Aku tidak pernah menceritakan
perasaanku pada orang lain, termasuk kepada suami. Ini bukanlah pilihan
sikap yang baik, tetapi rasa lelah mengurus bayi serta proses belajar
pengalaman baru yang aku hadapi setiap hari bisa menekan rasa cemas
berlebihan yang muncul di hati. Dari pengetahuan membaca pula aku
berusaha untuk meminimalisir gejala baby blues syndrome
dengan menyesuaikan rutinitas baru sebagai seorang ibu. Penyebab dari
sindrom ini bisa dilihat dari beberapa segi. Mengutip dari beberapa
situs internet, penyebab pertama adalah perubahan hormonal. Pasca
melahirkan terjadi penurunan kadar estrogen dan progesterone yang
drastis, dan juga disertai penurunan kadar hormon yang dihasilkan oleh
kelenjar tiroid yang menyebabkan mudah lelah, penurunan mood, dan
perasaan tertekan. Kedua dari segi fisik, hadirnya si kecil dalam
keluarga menyebabkan pula perubahan ritme kehidupan sosial dalam
keluarga, terutama ibu. Mengasuh si kecil sepanjang siang dan malam
sangat menguras energi ibu, menyebabkan berkurangnya waktu istirahat,
sehingga terjadi penurunan ketahanan dalam menghadapi masalah.
Selanjutnya adalah faktor psikis. Kecemasan terhadap berbagai hal,
seperti ketidakmampuan dalam mengurus si kecil, ketidak mampuan
mengatasi dalam berbagai permasalahan, rasa tidak percaya diri karena
perubahan bentuk tubuh dari sebelum hamil serta kurangnya perhatian
keluarga terutama suami ikut mempengaruhi terjadinya depresi. Penyebab
keempat dari segi sosial. Perubahan gaya hidup dengan peran sebagai ibu
baru butuh adaptasi. Rasa keterikatan yang sangat pada si kecil dan rasa
dijauhi oleh lingkungan juga berperan dalam depresi.Untunglah tidak
lama berselang (hampir dua bulan sih) rasa itu hilang dan berganti
menjadi perasaan bahagia dan syukur luar biasa atas anugerah menjadi
seorang ibu. Normalnya sindrom ini berlangsung sekitar dua minggu, bila
lebih dari itu ada kemungkinan mengacu pada gejala depresi pasca
persalinan atau postpartum depression.
Perbedaan keduanya terletak pada frekuensi, intensitas, serta durasi
berlangsungnya gejala. Pada depresi pasca persalinan, gejala-gejala itu
akan muncul lebih sering, lebih hebat, dan lebih lama. Tetapi tetap saja
karena aku sepenuhnya sadar bahwa aku bisa melawan perasaan berlebihan
pasca melahirkan ini, aku bisa keluar dari kungkungan sempitnya jalan
pikiranku saat itu walaupun itu membutuhkan waktu selama dua bulan.
Sekarang kehamilan keduaku sudah menginjak bulan
keenam. Sedikit perasaan cemas kembali muncul: Apakah persalinanku nanti
akan lancar? Apakah bayi yang akan aku lahirkan sehat dan normal?
Apakah aku bisa mengatur waktu antara keluarga dan pekerjaanku? Apakah
aku bisa membagi kasih sayangku pada kedua anakku?Semua pertanyaan itu
sering terlewat di benakku. Tapi aku yakin aku bisa. Aku punya banyak
orang di sekitar yang peduli dan sayang kepadaku. Bahkan anakku yang
besar selalu menguatkan dan memberi semangat bahwa aku ibu yang luar
biasa yang akan berusaha sekuat tenaga untuk mengasuh anak-anaknya kelak
(duuuh makasih ya Nino sayang..). Meski baru berusia lima tahun,
ternyata jalan pikirannya dapat mendamaikan hatiku. Belajar dari
pengalamanku, sindrom ini mungkin sulit untuk dihindari, tetapi tidak
sulit untuk diatasi. Jadi para calon ibu (baik yang benar-benar baru
ataupun setengah baru hehe) yang sedang mempersiapkan proses persalinan,
ayo kita juga mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan munculnya
teman tak diundang ini. Berilah waktu untuk diri sendiri, biarkan
keluarga ikut membantu mengurus si kecil, pehatikan pola makan dan gizi
yang seimbang, buang jauh-jauh perasaan bersalah, jangan mencoba untuk
menjadi terlalu sempurna, dan banyak membaca! Dengan membaca, banyak
pengetahuan yang bisa kita dapatkan!
No comments:
Post a Comment