Sunday 11 May 2014

Baby Blues Oh Baby Blues

Batu, 16 Februari 2012

Hamil? Anak kedua? Yippie yee... Perasaan senang, gugup, sekaligus excited bercampur menjadi satu. Padahal sudah pernah mengalami proses ini hampir lima tahun yang lalu, tapi seperti baru pertama kalinya. Jika di flash back, sepertinya aku sempat mengalami baby blues syndrome pasca persalinan yang pertama. Walaupun bukan dalam skala yang berat, tapi aku yakin kalau itu adalah tanda-tanda dari baby blues. Dari beberapa referensi yang aku baca, rasa putus asa, gelisah, sering menangis tanpa sebab dan menolak terhadap bayi yang baru dilahirkan adalah beberapa gejala dari sindrom ini. Apalagi sebagai wanita yang bekerja, perubahan rutinitas ini sempat membuat kaget. Hal ini merupakan sesuatu yang umum terjadi pada ibu yang baru melahirkan, bahkan hampir 80% ibu baru akan mengalaminya. Aku sempat merasa tidak berharga dan kehilangan orientasi dalam hidup. Beberapa hobi dan kebiasaan menyenangkan yang sering aku jalani seakan tidak mempunyai arti lagi. Life completely changes after having  birth!! Tapi aku sayang bayiku. Aku merasa terikat dengannya dan merasa siap menantang maut demi melindungi tangan mungil dan wajah malaikat kecilku. Aku sepenuhnya sadar dan tahu jika aku sedang mengalami sindrom yang menjadi momok para ibu setelah melahirkan itu. Dan aku berusaha sebisa mungkin untuk bangkit dan mengatasinya. Aku tidak pernah menceritakan perasaanku pada orang lain, termasuk kepada suami. Ini bukanlah pilihan sikap yang baik, tetapi rasa lelah mengurus bayi serta proses belajar pengalaman baru yang aku hadapi setiap hari bisa menekan rasa cemas berlebihan yang muncul di hati. Dari pengetahuan membaca pula aku berusaha untuk meminimalisir gejala baby blues syndrome dengan menyesuaikan rutinitas baru sebagai seorang ibu. Penyebab dari sindrom ini bisa dilihat dari beberapa segi. Mengutip dari beberapa situs internet, penyebab pertama adalah perubahan hormonal. Pasca melahirkan terjadi penurunan kadar estrogen dan progesterone yang drastis, dan juga disertai penurunan kadar hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang menyebabkan mudah lelah, penurunan mood, dan perasaan tertekan. Kedua dari segi fisik, hadirnya si kecil dalam keluarga menyebabkan pula perubahan ritme kehidupan sosial dalam keluarga, terutama ibu. Mengasuh si kecil sepanjang siang dan malam sangat menguras energi ibu, menyebabkan berkurangnya waktu istirahat, sehingga terjadi penurunan ketahanan dalam menghadapi masalah. Selanjutnya adalah faktor psikis. Kecemasan terhadap berbagai hal, seperti ketidakmampuan dalam mengurus si kecil, ketidak mampuan mengatasi dalam berbagai permasalahan, rasa tidak percaya diri karena perubahan bentuk tubuh dari sebelum hamil serta kurangnya perhatian keluarga terutama suami ikut mempengaruhi terjadinya depresi. Penyebab keempat dari segi sosial. Perubahan gaya hidup dengan peran sebagai ibu baru butuh adaptasi. Rasa keterikatan yang sangat pada si kecil dan rasa dijauhi oleh lingkungan juga berperan dalam depresi.Untunglah tidak lama berselang (hampir dua bulan sih) rasa itu hilang dan berganti menjadi perasaan bahagia dan syukur luar biasa atas anugerah menjadi seorang ibu. Normalnya sindrom ini berlangsung sekitar dua minggu, bila lebih dari itu ada kemungkinan mengacu pada gejala depresi pasca persalinan atau postpartum depression. Perbedaan keduanya terletak pada frekuensi, intensitas, serta durasi berlangsungnya gejala. Pada depresi pasca persalinan, gejala-gejala itu akan muncul lebih sering, lebih hebat, dan lebih lama. Tetapi tetap saja karena aku sepenuhnya sadar bahwa aku bisa melawan perasaan berlebihan pasca melahirkan ini, aku bisa keluar dari kungkungan sempitnya jalan pikiranku saat itu walaupun itu membutuhkan waktu selama dua bulan.
Sekarang kehamilan keduaku sudah menginjak bulan keenam. Sedikit perasaan cemas kembali muncul: Apakah persalinanku nanti akan lancar? Apakah bayi yang akan aku lahirkan sehat dan normal? Apakah aku bisa mengatur waktu antara keluarga dan pekerjaanku? Apakah aku bisa membagi kasih sayangku pada kedua anakku?Semua pertanyaan itu sering terlewat di benakku. Tapi aku yakin aku bisa. Aku punya banyak orang di sekitar yang peduli dan sayang kepadaku. Bahkan anakku yang besar selalu menguatkan dan memberi semangat bahwa aku ibu yang luar biasa yang akan berusaha sekuat tenaga untuk mengasuh anak-anaknya kelak (duuuh makasih ya Nino sayang..). Meski baru berusia lima tahun, ternyata jalan pikirannya dapat mendamaikan hatiku. Belajar dari pengalamanku, sindrom ini mungkin sulit untuk dihindari, tetapi tidak sulit untuk diatasi. Jadi para calon ibu (baik yang benar-benar baru ataupun setengah baru hehe) yang sedang mempersiapkan proses persalinan, ayo kita juga mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan munculnya teman tak diundang ini. Berilah waktu untuk diri sendiri, biarkan keluarga ikut membantu mengurus si kecil, pehatikan pola makan dan gizi yang seimbang, buang jauh-jauh perasaan bersalah, jangan mencoba untuk menjadi terlalu sempurna, dan banyak membaca! Dengan membaca, banyak pengetahuan yang bisa kita dapatkan!

No comments:

Post a Comment