Thursday 26 March 2015

Farkhunda

(foto: nationforchange.com)

Namanya Farkhunda. Sebuah nama yang biasa-biasa saja. Seperti Dewi atau Sri di Indonesia. Namun, nasib yang menimpa perempuan 27 tahun asal Kabul pada Kamis lalu (19/3) membuat nama itu tak akan terlupakan.
Gara-gara dituduh membakar Alquran, perempuan tersebut mengalami kematian mengerikan. Dia dipukul massa dan dijatuhkan dari loteng sebelum ditabrak mobil. Belakangan, diketahui tuduhan itu isapan jempol belaka karena dia berani mempertanyakan pendapat ulama yang dianggapnya tidak sesuai.
Belum cukup itu. Setelah tak berdaya, dia masih saja ditendang dan dipukuli massa sampai meninggal. Jasadnya kemudian dibakar sebelum dibuang ke sungai. Pemerintah Afghanistan langsung mengutuk tindakan barbar tersebut. Dunia pun mengutuk aksi itu. Kita semua mengutuknya dan memang tindakan sadis tersebut layak dikutuk.
Namun dunia tak lantas menjadi lebih baik setelah mengutuk. Pangkal permasalahan tersebut ada pada sikap ekstremisme. Itulah yang menjadi sumber kekacauan. Farkhunda mungkin bisa dianggap tak sopan dengan mempertanyakan pendapat seorang ulama lokal. Namun, menjaga ajaran dengan besi dan pedang ternyata menimbulkan masalah yang lebih besar.
Penulis Umberto Eco dalam novelnya, The Name of The Rose, pernah menyebut, kejahatan bisa datang dari kesalehan. Itu tidak berarti salah menjadi orang saleh. Namun, sikap menganggap semua orang yang berbeda pandangan sebagai musuh hanya akan membuat dunia semakin terbelah.
Indonesia sudah menunjukkan bibit-bibit semacam itu. Dengan alasan menjaga akidah, sejumlah kelompok justru melakukan kekerasan terhadap kelompok lain. Secara terang-terangan. Meski skalanya berbeda, esensinya sama. Itu tentu menyedihkan.Semakin canggih peradaban, namun pertentangan antar keyakinan justru makin mudah terbakar.
Pertentangan Sunni-Syiah yang membuat kawasan Timur Tengah sekarang menjadi titik panas: ISIS dan 36 keompok militan, termasuk Boko Haram, yang telah berbaiat; serta kelompok antiekstremisme agama yang justru menjadi ekstremis sendiri seperti PEGIDA di Jerman membuat dunia kini seperti kembali ke abad pertengahan. Terbelah-belah karena keyakinan dan siap berperang.
Sungguh saat ini dibutuhkan kesadaran sebagaimana yang pernah dikatakan Gus Mus. "Setiap cercaan atau hinaan terhadap akidah tidak akan merusak Islam. Yang merusak Islam justru reaksi yang berlebihan." Harus diingat bahwa Tuhan hanya satu. Dan, kenapa kita harus berperang di satu bumi demi satu Tuhan.

(sumber: kolom Jati Diri Jawa Pos Jumat, 27 Maret 2015)

No comments:

Post a Comment